Jurnalis warga

Tukang Sol Sepatu: Digerus zaman, Digilas kehidupan

Matahari tepat di atas kepala. Siang begitu terik hari itu. Udara panas dan bising lalu lintas kendaraan di Pasar Royal, Kota Serang.

Pada sore yang gerah itu, saya mengunjungi Pasar Royal dengan niat mencari tukang sol sepatu yang berjejer di sepanjang trotoar. Saking banyaknya tukang sol sepatu di sana, sepertinya tidak semua para tukang sol yang kebanyakan sudah uzur itu bisa mendapatkan pelanggan dalam sehari.

Tetiba mata saya berhenti pada tukang sol sepatu bernama Dadang. Saya merasa harus memilih dirinya dibanding puluhan tukang sol lain hari itu. Tawar menawar harga, sepakat di angka 15 ribu untuk menutup kembali sepatu saya yang menganga seperti mulut buaya.

Sambil bekerja, Dadang bercerita bahwa ia harus mengayuh sepeda menempuh jarak lima kilometer dari rumahnya di Kasemen menuju tempat mengais rupiah. Sepeda butut itu ia beli dari sesama tukang sol sepatu. Sepeda yang setia menemaninya berangkat pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore.

Pria 40 tahun itu telah menggeluti pekerjaan tersebut selama 7 tahun dengan pendapatan tidak seberapa. Jika hari sedang baik, uang 50 ribu masuk kantong bajunya. Namun, ketika Dewi Fortuna tak mampir tidak ada satu sen pun mampir ke kantongnya.

“Paling ge 50 ribu, cukup jang emam wae, loba kirangna (Paling juga 50 ribu, cukup buat makan saja, banyak kurangnya),” kata Dadang sambil menarik tali sol.

Pengalaman pahit pernah ia lalui sebagai tukang sol sepatu. Saking kurangnya pendapatan Dadang, anak perempuan ketiganya meninggal dunia pada 2013 silam. Anaknya terserang demam tinggi. Ia dan istri tidak sanggup membawa sang anak ke rumah sakit karena tak punya biaya. Kini tersisa 3 anaknya yang setia menanti Dadang di depan rumah tiap sore.

Selain bersaing dengan puluhan tukang sol sepatu, pekerjaan Dadang juga saat ini mempunyai kompetitor baru. Saat ini marak tukang sol sepatu menggunakan mesin. Bahkan alat sol sepatu mudah didapatkan di pelbagai aplikasi belanja online.

Tentunya hal itu bukan kabar baik bagi tukang sol sepatu tradisional seperti Dadang dan kawan-kawannya. Dadang menuturkan, imbas “modernisasi” di bidang reparasi alas kaki itu berdampak bagi pemasukannya.

“Sapoe kadang teu meunang sama sekali. Jadi ngandelkeun duit kamarina (Sehari kadang tidak dapat uang sama sekali. Jadi mengandalkan penghasilan sehari sebelumnya),” tutur Dadang dengan nada lesu.

Sebelum menjadi tukang sol, Dadang pernah mencoba peruntungan menjadi tukang bubur di Cimahi. Usaha tak berjalan lancar. Harapannya lumer seperti bubur. Peruntungan yang tidak lebih baik membuatnya memutuskan kembali ke Kota Serang tanpa pekerjaan.

Setelah menganggur beberapa lama ia mencoba bangkit dan belajar menjahit sepatu. Sang kakaknya yang sudah lama mengguleti pekerjaan sebagai tukang sol sepatu mengajarinya. Ia belajar kurang lebih satu bulan sebelum akhirnya memantapkan diri mulai menjajakan jasanya.

Jasa sol sepatu memang merupakan pekerjaan yang tidak perlu mengeluarkan modal rutin seperti penjual makanan. Benang, jarum tentu tidak akan habis dalam hitungan minggu. Hal itu yang jadi pertimbangan Dadang ketika memutuskan banting setir dari berjualan bubur menjadi tukang sol sepatu.

Cobaan sepertinya masih tidak pilih kasih. Pada tahun 2020 Dadang sakit keras sampai batuk darah. Dokter mendiagnosa ia terkena tuberkulosis (TBC) dan harus menjalani pengobatan selama 6 bulan. Kendati sakit keras, Dadang tidak bisa istirahat total dan hanya berdiam diri di rumah karna ia satu-satunya tulang punggung keluarga.

“Muntah darah saya, tos berobat 6 bulan. Cek dokter mah paru-paru. Tapi tetep lanjut kerja mah (muntah darah saya, sudah berobat 6 bulan. Kata dokter sakit paru paru. Tapi kerja tetap lanjut),” kenang Dadang.

Mulai merasa bahwa pekerjaan yang ia geluti sekarang tidak selalu dapat membuat dapur di rumahnya mengebul, Dadang kembali mecoba mengumpulkan modal untuk kembali berjualan. Ia berharap dengan kembali berjualan, dirinya berharap kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi.

Pekerjaan Dadang merupakan potret salah satu pekerjaan yang mulai tergerus zaman. Seperti juga penjaga tiket tol atau penjual kaset bajakan yang perlahan hilang, tukang sol sepatu tinggal menunggu antrean.

Sambil menyelesaikan jaitan terakhirnya pada sepatu saya yang solnya kini sudah mulai rapat, ia meneguk air kemasan. Tangan kanannya mengambil korek menyalakan rokok kretek. Kepulan asap membumbung seiring keluh kesah. Dadang seakan lupa dengan kondisi paru-parunya. Ia menikmati tiap hisapan rokoknya sambil menatap kosong ke arah langit.

Editor: Bang Wahyu
Penulis: JW Raden Audindra

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *