News

Kepalsuan Para Pencalon Politik

KEPALSUAN PARA PENCALON POLITIK

 

Kita semua dibohongi!! Semua kepalsuan dari para pencalon politik yang bermuka dua, yang selalu ingin dipandang paling religius, yang paling baik dimana umum selalu membangun citra baik dimata semua orang tapi entahlah dibalik semua itu apakah memang nyatanya seperti itu atau hanya sandiwara belaka? Nyatanya masih banyak masyarakat yang dibodohi akan hal ini, mereka bertingkah seolah olah baik di depan masyarakat

Hampir semua para pencalon politik melakukan kegiatan ini, mereka berlomba lomba menjadi paling dermawan, paling baik hati dan tidak jarang juga selalu ingin dipandang paling religius, ini sangat berkaitan tentang politik identitas yang dimana salah satu tujuan dari Politik identitas itu yang dimana bertujuan memperoleh suara sebanyak banyaknya dari masyarakat. Politik identitas juga muncul dari kebutuhan aktor politik untuk mengekspresikan ambisi politiknya dan menarik dukungan dari mereka yang memiliki latar belakang yang sama dengan aktor politik tersebut

Sebagai sesuatu yang mendasar identitas adalah satu hal yang paling penting segala hal yang ingin kita ketahui dimulai dengan mengenal identitas dar hal tersebut. Lalu membicarakan tentang politik identitas, politik identitas ini menjadi hal yang sering diperbincangkan maupun diperdebatkan akhir akhir ini.

Politik identitas ini sangat jauh berbeda dengan “Identitas Politik” yang dimana identitas politik merupakan suatu identitas dari suatu individu atau kelompok terkait dengan dunia politik itu sendiri, sedangkan politik identitas merupakan upaya yang dilakukan pemilik identitas dalam membangun image atau pandangan terhadap identitas yang dibangun seperti yang “kami” dan yang “bukan kami” yang biasanya terkait dengan ras, suku, etnik, budaya, ataupun bahkan terhadap agama tertentu.

Istilah “politik identitas” pertama kali muncul pada 1970-an, terutama di Amerika Serikat. Ini adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial dan politik yang muncul pada waktu itu. Politik identitas mengacu pada cara kelompok sosial yang berbeda, seperti kelompok etnis, gender, seksual, agama, atau budaya, menggunakan identitas mereka sebagai dasar untuk mengatur diri mereka sendiri dan berpartisipasi dalam proses politik.

kemudian istilah digunakan untuk mendeskripsikan gerakan dan perjuangan kelompok-kelompok ini yang menggunakan identitas mereka sebagai landasan untuk memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Politik identitas mengacu pada bagaimana kelompok-kelompok ini membentuk aliansi, mengejar tujuan bersama, dan menantang struktur kekuasaan yang ada. Ini juga memunculkan perdebatan tentang sejauh mana politik identitas dapat memajukan perubahan sosial positif atau memicu konflik antar-kelompok.

Lawan politik Joko Widodo pada Pilpres 2019 disebut-sebut bergerak ke arah politik identitas dalam keputusannya memilih Maruf Amin. Jokowi mengaku telah mendapat persetujuan dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat, seperti  ulama, ketua umum partai, pengurus partai, dan relawan. Alasan Jokowi memilih Maruf Amin karena Maruf Amin dinilai sebagai ulama yang bijaksana dan juga berpengalaman dalam pemerintahan. Dari alasan-alasan yang disampaikan Jokowi, sangat jelas terlihat bahwa agama memang  akan menjadi senjata dan penghambat politik identitas yang bisa dilakukan oleh lawan politik jika ada kemungkinan yang ada.

Politik identitas memiliki keuntungan dalam memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, memperjuangkan pengakuan, dan menyatukan individu-individu dalam perjuangan bersama untuk mendapatkan hak-hak yang terabaikan. Hal ini juga meningkatkan kesadaran akan identitas budaya dan menciptakan perubahan sosial yang positif. Namun, politik identitas juga mempunyai keterbatasan yang signifikan. Terlalu fokus pada politik identitas seringkali menimbulkan polarisasi yang mendalam, menyulitkan dialog antar kelompok, bahkan dapat menimbulkan konflik antar kelompok yang berbeda pandangan atau identitas.

 

Terlalu fokus pada politik identitas dapat menghambat pencarian solusi bersama atas permasalahan sosial yang kompleks, dan politik identitas seringkali dimanfaatkan oleh partai politik untuk mencapai tujuan tertentu tanpa mempertimbangkan kepentingan sebenarnya dari kelompok terkait, sehingga berujung pada manipulasi kebijakan yang merugikan kepada masyarakat sepenuhnya.

 

Di Indonesia, penanganan kasus politik identitas memerlukan pendekatan yang melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak terkait. Langkah-langkah untuk mengatasi masalah politik identitas di Indonesia melibatkan edukasi, dialog antarkelompok yang terbuka, penguatan lembaga-lembaga demokratis, dan peran media yang bertanggung jawab. Pendidikan yang inklusif, mengajarkan toleransi, menghargai keragaman budaya, serta pengenalan sejarah yang lengkap dan akurat tentang masyarakat Indonesia, dapat mengurangi ketidakmengertian dan prasangka antarkelompok.

 

penguatan lembaga demokratis dan penegakan hukum yang adil sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak semua warga negara dihormati dan dilindungi. Media harus mengambil tanggung jawab untuk menyampaikan informasi yang berimbang dan berimbang, serta mendorong persepsi keberagaman sebagai kekuatan dan bukan perpecahan dalam masyarakat. Upaya kolaboratif antara pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil sangatlah penting untuk mengatasi permasalahan politik identitas di Indonesia secara efektif.

 

Politik identitas mengacu pada proses dimana individu atau kelompok menyelaraskan identitas mereka (seperti agama, etnis, gender atau budaya) dalam kerangka politik untuk mendapatkan kekuasaan, pengakuan dan dukungan. Hal ini bisa terjadi ketika kelompok merasa terpinggirkan atau tidak diakui secara adil di masyarakat dan memilih untuk berjuang bersama demi kepentingan bersama. Politik identitas seringkali digunakan untuk memobilisasi massa, membangun solidaritas dalam kelompok, dan meraih dukungan di arena politik. Meski sering  digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan kesetaraan dan pengabaian hak, politik identitas juga dapat menimbulkan konflik, polarisasi, dan sulitnya mencapai kesepakatan antar kelompok yang berbeda.

 

Oleh: Khaerul Anwar

NIM:6662230083

Kelas: 1 C

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *